Saturday, June 18, 2011

Lebih dari 50% Peresepan Obat Kurang Tepat

Lebih dari 50% peresepan obat, khususnya antibiotik di rumah sakit, puskesmas, dan dokter praktik swasta kurang tepat. Bila tidak ditanggulangi, pola pemberian antibiotik secara serampangan itu bisa menimbulkan wabah bakteri yang resisten terhadap antibiotik.

"Efek negatif bagi pasien, antara lain, masa infeksi penyakit jadi semakin lama, kondisi klinisnya memburuk, ongkos pengobatan mahal, dan efek samping semakin besar lantaran dosis obat yang diberikan semakin tinggi," ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih dalam jumpa pers seminar Antimicrobial Resistance-Containment and Prevention, kemarin di Jakarta.

Gambaran tingginya kasus pasien kebal obat, lanjut Endang, terlihat pada pasien tuberkulosis (Tb). Menurutnya, saat ini ada 6.395 pasien yang tidak mempan lagi diobati dengan obat Tb lini pertama (multidrug-resistant tuberculosis/MDR-Tb). Indonesia berada di posisi 8 sebagai negara dengan beban MDR tertinggi di dunia.

Dalam seminar yang diselenggarakan terkait peringatan Hari Kesehatan Sedunia itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK-UGM) Iwan Dwiprahasto memaparkan data hasil penelitian FK-UGM bekerja sama dengan Bank Dunia pada 2004 di Sumatra Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan NTT.

Hasil penelitian menunjukkan, 92%-94% peresepan antibiotik pada pasien yang berobat di puskesmas, rumah sakit, hingga dokter praktik swasta tidak rasional atau tidak tepat dosis ataupun peruntukannya.

"Pemberian antibiotik tidak rasional terlihat pada pasien diare di kelima provinsi itu, yakni mencapai 87%. Padahal, diare tidak selalu membutuhkan antibiotik," ujar Iwan.

Selain peresepan obat oleh dokter tidak rasional, tambahnya, pasiennya juga tidak patuh minum obat. Akibatnya, risiko terjadinya wabah penyakit yang kebal terhadap obat tentu semakin tinggi.

"Pasien Indonesia rata-rata minum antibiotik hanya 1,2 sampai 2,7 hari. Rentang waktu konsumsi antibiotik itu dinilai terlalu pendek sehingga tidak seluruh bakteri di dalam tubuh mati."


Harus bertindak

Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto menyalahkan kebijakan pemerintah yang masih memperbolehkan apotek dan toko obat melayani pembelian obat antibiotik tanpa disertai resep dokter.

"Antibiotik dapat dibeli tanpa resep dokter hanya ada di Indonesia. Di luar negeri tidak ada itu," keluhnya.

Sementara itu, teknik pemberian obat yang tidak benar, diduga Iwan juga memberi andil terjadinya resistensi antimikroba. Contohnya, pada obat puyer, antibiotik kerap dicampur dengan obat analgesik, dan penurun panas.

"Obat antibiotik tidak boleh dicampur, itu dosa besar," tuturnya.

Sementara itu, perwakilan WHO di Indonesia Khancit Limpakarnjanarat mendesak Indonesia segara mengambil tindakan terkait masalah itu. "Jangan sampai dunia tidak lagi memiliki obat untuk penyakit infeksi," tegasnya.

Sebagaimana diketahui sejak 2007, industri farmasi tidak lagi mengembangkan obat antibiotik baru. Mereka lebih fokus mengembangkan obat penyakit degeneratif yang dinilai lebih menguntungkan. (X/8)
 
 
source : micom

No comments: