Tuesday, October 19, 2010

Obat tradisonal untuk diare

Ramuan Obat Tradisional 1 :

Daun jambu biji sebanyak 30 gram direbus dengan 400 cc air hingga tersisa 200 cc, kemudian airnya diminum selagi hangat.

Pemakaian : Konsumsi 2 kali sehari



Ramuan Obat Tradisional 2 :

Daun urang-aring sebanyak 30 gram direbus dengan 400 cc air hingga tersisa 200 cc, kemudian airnya diminum selagi hangat.

Pemakaian : Konsumsi 2 kali sehari



Ramuan Obat Tradisional 3 :

Kulit delima kering sebanyak 30 gram dan 10 gram daun teh direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 300 cc, kemudian air rebusannya diminum selagi hangat.

Pemakaian : Konsumsi 2 kali sehari



Ramuan Obat Tradisional 4 :

Cuci bersih 2 jari kayu bungur, lalu tumbuk sampai halus. Seduh dengan ½ cangkir air, aduk sampai rata lalu saring.

Pemakaian : Minum sekaligus.



Ramuan Obat Tradisional 5 :

Remas-remas daun cincau di dalam air masak, saring, lalu biarkan bberapa saat sampai membentuk agar-agar. Tambahkan santan kelapa dan pemanis dari gula kelapa.

Pemakaian : Makan sekaligus.



Ramuan Obat Tradisional 6 :

Cuci bersih 2 genggam daun gude segar, lalu rebus dengan 3 gelas air hingga tersisa 1 ½ gelas. Setelah dingin, saring.

Pemakaian : Minum 3 kali sehari, masing-masing ½ gelas.



Ramuan Obat Tradisional 7 :

Rebus 3 potong akar iler dengan 2 gelas air hingga tersisa 1 gelas.

Pemakaian : Minum pada pagi dan sore hari.



Ramuan Obat Tradisional 8 :

Cuci bersih 5 lembar daun jambu biji serta 1 potong akar, kulit dan batangnya, rebus dengan 1,5 liter air  sampai mendidih. Setelah dingin, saring.

Pemakaian : Minum 2 kali sehari pada pagi dan sore hari.

Have fun (travelling). Be responsible.

Kita – pehobi wisata – yang paling rugi jika tempat wisata makin berkurang jumlah dan daya tariknya. Padahal – sadar atau tidak – kita juga salah satu penyebabnya.

“Jadi, siapa yang harus menjaga (tempat wisata) sementara kita sudah mengeluarkan uang tak sedikit untuk bisa pergi ke sana?” tanya teman saya.

Di Amerika dan Eropa, kesadaran untuk menjaga tempat wisata sudah jadi tindakan nyata. Konsep ecotourism, green traveling dan lain-lain pun sudah banyak dijadikan komoditas wisata. Salah satu konsep alternatif yang menjaga kelangsungan lokasi wisata adalah wisata lebih bijak dan bertanggungjawab atau biasa disebut responsible traveling.

Responsible traveling bukan konsep baru. Hampir seluruh pehobi wisata – termasuk kita – telah melakukan praktik responsible traveling jauh sebelum istilah ini ada dan gerakan ini dideklarasikan secara global di Cape Town, Afrika Selatan tahun 2002.

Uniknya, konsep ini justru lahir dari para pehobi wisata dengan alasan yang kurang lebih sama dengan teman saya: ingin memastikan tempat yang hari ini mereka kunjungi, dapat dinikmati anak-cucu mereka.

Lebih dari perjalanan yang menyenangkan, responsible traveling menjanjikan wisatawan merasa nyaman (feel good) sekembalinya dari perjalanan mereka dengan meminimalkan (bukan menihilkan) dampak negatif perjalanan pada lingkungan dan masyarakat di sekitar tempat wisata.

Menurut teorinya, banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjadi seorang responsible traveler. Memilih tempat wisata yang sedang tidak terancam kondisi lingkungannya. Memilih transportasi dengan emisi karbon paling kecil. Menginap di hotel yang menggunakan tenaga listrik alternatif dan pengelolaan sampah dengan baik. Dan yang sering terlupakan: memastikan sesedikit mungkin kunjungan kita mengkontaminasi budaya setempat.

Teman saya langsung berkerut dahi ketika kami mendiskusikan teori tersebut. Terlalu banyak syarat. Sulit. Tidak praktis. Tidak bebas. Dan sederet alasan yang memaksa saya untuk mengafirmasi diri, “Apa benar harus se-ribet itu?”

Yang penting diingat, walau tujuannya sama, aplikasi responsible traveling di Amerika dan Eropa belum tentu cocok dilaksanakan di Indonesia. Banyak praktek responsible traveling yang perlu disesuaikan agar lebih mudah dilaksanakan. Bahkan, kita bisa mulai dari hal-hal kecil dan sederhana!

Kembali ke pertanyaan teman saya, nampaknya tak perlu lagi ditanyakan siapa yang harus mulai. Dengan hal-hal yang sangat praktis, kita – pehobi wisata – bisa bangga jadi responsible traveler yang ikut menjaga tempat wisata.

Semakin banyak pehobi wisata yang menjadi responsible traveler, semakin banyak pula alasan pengelola tempat wisata, pengelola akomodasi, penyedia transport, pemerintah bahkan masyarakat sekitar lokasi wisata untuk jadi bagian dan mendapat keuntungan dari gerakan positif ini.

Tak ada pilihan lain, kita harus dan kita bisa mulai dari diri sendiri: menjadi responsible traveler di rumah sendiri.

Agar wisata Indonesia terus membawa keuntungan bagi anak bangsa, sekarang dan di masa datang.

Tips menjadi Responsible Traveler: start small!
  1. Dahulukan jalan-jalan ke tempat terdekat dari rumah kita. Selain mengurangi jejak karbon, kita bisa jadi lebih kenal dan pede jadi tuan rumah di daerah sendiri.
  2. Gunakan transportasi umum atau – jika bepergian dalam kelompok – menyewa alat transportasi bersama.
  3. Menginap di penginapan milik penduduk lokal. Selain membantu ekonomi mereka, lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan kebiasaan dan budaya setempat.
  4. Membeli makanan lokal atau, jika memungkinkan, masak dan makan bersama penduduk lokal. Selain menambah pemasukan, kita bisa belajar kehidupan mereka melalui pengalaman kulinernya.
  5. Minimalkan kerusakan alam. Bawa kembali sampah kita ketika naik gunung atau pergi ke pulau-pulau kecil.
  6. Asah kemampuan berenang sebelum snorkelling di daerah berterumbu karang. Dan seterusnya.
  7. Menawar seperlunya. Penduduk lokal punya kesempatan cari uang yang lebih sedikit dibandingkan kita – penduduk kota. Seribu rupiah yang kita hemat bisa jadi berkurangnya lauk makan mereka.
  8. Tidak mengkritik atau mencela kebiasaan setempat. Bisa jadi mereka sudah hidup dengan kebiasaan tersebut jauh sebelum kita berkunjung.
  9. Selalu minta ijin sebelum mengambil gambar penduduk lokal dan katakan sebenarnya jika memang sulit untuk menjanjikan mengirimkan foto.
  10. Membawa oleh-oleh untuk penduduk lokal. Selama berguna dan tidak berlebihan, mereka akan semakin menghargai wisatawan yang datang.
  11. Sebarkan pengalaman yang baik. Perbuatan yang baik bisa jadi virus yang baik pula. Bicarakan dengan teman dan keluarga. Buatlah blog dan pastikan banyak orang yang membaca.
Pantai Selatan P. Tidung, Kep. Seribu, Jakarta

Dayak Meratus dan Kebersahajaan

Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, merupakan daerah terkecil ketiga setelah Kota Banjarmasin dan Banjarbaru.

Dengan luas 1.743,11 Km2, HST dihuni oleh penduduk sebanyak 240.382 jiwa, terdiri dari etnis Banjar dan Dayak sebagai penduduk asli serta Jawa, Arab, Bugis, Madura dan Cina dengan jumlah yang lebih kecil.

Keanekaragaman penduduk HST dengan budaya dan perilakunya yang berbeda, membawa nuansa tersendiri di bumi `Murakata` (sebutan lain untuk HST) itu. Puluhan bahkan ratusan tahun dalam perbedaan, ternyata tidak menimbulkan konflik di sana dan masyarakatnya hidup dalam keharmonisan.

Etnis Banjar adalah mayoritas yang menguasai sebagian besar aspek kehidupan. Sementara, etnis Dayak yang mendiami wilayah pegunungan Meratus, meski juga merupakan penduduk asli tetapi memiliki peran yang lebih kecil, bahkan terkadang lebih kecil dibandingkan etnis pendatang yang mendiami wilayah perkotaan.

Tak jarang, etnis Dayak Meratus terpinggirkan dan seakan hanya sebagai pelengkap saja ketika bersentuhan dengan persoalan administrasi pemerintahan atau penguasaan teknologi. Begitu pula ketika masuk dalam ranah ekonomi, nyaris tak ada etnis Dayak Meratus yang berperan sebagai pelaku usaha.

Etnis Dayak Meratus, biasa disebut pula suku Bukit oleh etnis Banjar Pahuluan (yang mendiami kawasan Banua Anam atau hulu) dan suku Biaju oleh etnis Banjar Kuala (yang mendiami wilayah pesisir atau hilir).

Terkadang, ada sebagian masyarakat yang menganggap sebutan suku Bukit atau Biaju sebagai ungkapan ketertinggalan terhadap suku Dayak. Mendengar kata Dayak saja terkadang memunculkan gambaran tentang etnis terasing dan primitif.

Dalam hal penguasaan teknologi, orang Banjar dikenal sebagai etnis yang lebih maju. Hal itu berkenaan dengan peran mereka yang lebih besar dalam hal itu.

Menurut Koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade yang menaungi etnis Dayak di Kalsel, perasaan tertinggal dan terpinggirkan memang dirasakan nyata oleh etnis itu.

"Bukan hanya perasaan tertinggal tetapi bahkan banyak dari orang Dayak, khususnya mereka yang berpikiran kritis, justru beranggapan telah ditinggalkan," ujarnya.

Tertinggal dan ditinggalkan, jelas mempunyai makna yang berbeda. Bila tertinggal, artinya masih ada kesempatan untuk mengejar agar menjadi sama atau sejajar.

Namun bila ditinggalkan, menimbulkan kesan bahwa etnis Dayak memang tidak dianggap atau dengan kata lain ada unsur kesengajaan disitu. Dan itu, sungguh menyakitkan.

Perasaan ditinggalkan, nyata terungkap saat pelaksanaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) di Jakarta tanggal 17 Maret 1999 lalu. Di mana perwakilan etnis Dayak Meratus melontarkan harapan agar diakui.

Mereka menyatakan bahwa hanya akan mengakui keberadaan Negara Indonesia bila Negara mengakui mereka. Kiranya itu merupakan sebuah pernyataan di tengah keterdesakan atas sebuah pengakuan.

Mereka berharap, Negara mengakui kedaulatan masyarakat adat meliputi wilayah, agama dan tradisi sebagai bentuk penghargaan bila memang bangsa ini ingin dihargai pula.

Dalam hal ini, menurutnya tidak ada pihak yang harus disalahkan. Akses pembangunan misalnya, yang tidak menjangkau pemukiman etnis Dayak Meratus lebih disebabkan oleh lokasi mereka yang jauh di pedalaman.

"Dimana dalam hal ini, untuk melakukan pembangunan pada kawasan itu memerlukan investasi yang tidak sedikit," katanya.

Hal itu ditambah lagi letak pemukiman dalam satu wilayah yang disebut Balai, letaknya saling berjauhan sehingga aspek manfaat pembangunan menjadi berkurang karena jumlah penduduk yang sedikit.

Kondisi tersebut kemudian memunculkan kesan tentang ketidakpedulian dan keterasingan walau sebenarnya tidak semua etnis Dayak Meratus menganggapnya terlalu serius.

Berbeda dengan etnis Banjar misalnya, yang mendiami wilayah tertentu dalam jumlah banyak sehingga lebih mudah dilakukan pembangunan karena aspek manfaat yang lebih besar.

Etnis Dayak Meratus sendiri menyadari hal itu. Mereka yang lebih senang berdiam di kawasan hutan, memiliki tingkat keterbukaan lebih rendah terhadap etnis lain. Karena itulah, tak pernah terjadi konflik meski perasaan ditinggalkan itu sebenarnya ada.

"Konflik bisa muncul bila ada pihak ketiga yang berperan sebagai provokator. Provokator bisa dari luar Dayak yang memanfaatkan keluguan etnis itu untuk tujuan tertentu atau justru berasal dari etnis itu sendiri,"tambahnya.

Provokator yang berasal dari etnis itu sendiri sangat jarang terjadi bila hanya bersinggungan dengan masalah ekonomi misalnya atau bukan pada hal yang prinsipil.

Itupun biasanya, diperankan oleh orang Dayak Meratus yang telah terkontaminasi oleh kehidupan modern dengan tuntutan materialismenya.

Namun konflik akibat provokator jenis ini, biasanya tidak diikuti oleh mayoritas Dayak keseluruhan namun hanya sebagian kecil saja.

Pengamat sosial budaya dan politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin, Taufik Arbain menilai, etnis Dayak Meratus memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap pendatang atau orang dari luar etnis mereka.

"Dayak Meratus adalah kelompok etnis yang sangat bersahaja dan tidak memiliki sifat kompetitif, sangat bertolak belakang dengan etnis Banjar yang kompetitif," ujarnya yang juga Ketua Litbang Dewan Kesenian Budaya Banjar itu.

Kebersahajaan dan sifat tidak kompetitif itulah yang mendorong mereka mengambil keputusan untuk hidup menyendiri dan bersahaja, karena bagi mereka hal itu lebih baik dan lebih nyaman.

Di sisi lain, etnis Banjar meski berperan lebih dominan dalam berbagai aspek kehidupan, namun apa yang dilakukan bukanlah sebuah bentuk penguasaan secara masif sistemik.

Etnis Banjar yang memiliki sifat kompetitif, hanya menjalankan perannya di tengah kebersahajaan etnis Dayak Meratus yang membuka peluang untuk itu. Karena itulah, tak pernah ada konflik di antara kedua etnis itu.

Begitu pula etnis lain sebagai kaum pendatang. Pola yang mereka terapkan di HST bukanlah sebuah penguasaan seperti halnya yang dilakukan oleh perusahaan besar yang secara nyata telah melakukan penguasaan sumber ekonomi.

"Sebagaimana halnya manusia, potensi konflik antara etnis Dayak dengan Banjar maupun yang lainnya, selalu ada. Tetapi hal itu tidak signifikan dibandingkan dengan potensi kekhawatiran yang muncul," katanya.

Antara etnis Dayak Meratus dengan Banjar, hal itu sangat mendasar karena mereka memiliki rumpun yang sama dalam hal kebudayaan. Sehingga ketika terjadi konflik bisa mengkomunikasikan hak-hak mereka melalui pendekatan budaya.

Penyelesaian konflik dengan cara pendekatan asas rumpun yang sama berdasarkan persamaan genetik yang hanya dibedakan oleh kepercayaan, membuat konflik yang muncul tidak sampai meruncing dan melebar pada persoalan lain.

Etnis pendatang yang ada di HST, kiranya juga melakukan pendekatan serupa meski mereka tidak berasal dari rumpun yang sama. Keserasian sosial antar identitas etnis akhirnya menghindari terjadinya konflik.

"Konflik antara etnis Dayak Meratus dengan Banjar atau lainnya, dapat terjadi bila muncul kesenjangan akibat penguasaan ekonomi yang berimbas pada rasa ketidakadilan hingga memunculkan kondisi dimana hilangnya hak-hak dasar mereka," tambahnya.

Namun hal itu juga tidak terlalu signifikan sebagai penyebab munculnya konflik yang melibatkan seluruh elemen. Etnis Dayak Meratus dengan tingkat toleransi dan kebersahajaan mereka relatif dapat mentoleransi hal-hal yang berlatar belakang ekonomi.

Keadaannya akan menjadi berbeda ketika bersinggungan dengan harga diri dan budaya yang dikeramatkan.

Sebagai etnis yang menjunjung tinggi harga diri dan nilai-nilai kearifan lokal, Dayak Meratus lebih mengedepankan hal-hal budaya dengan nilai-nilai rohaniah. Sehingga, konflik hanya akan terjadi bila penguasaan ekonomi yang dilakukan etnis tertentu, bersinggungan dengan harga diri dan menabrak nilai-nilai kultural.

Di luar itu, etnis Dayak Meratus akan lebih toleransi dan lebih memilih menjalani kehidupan mereka yang bersahaja.

Mereka tidak akan pernah mempermasalahkan apapun bentuk `penguasaan` yang dilakukan etnis lain selama masih menghargai dan menghormati harga diri dan nilai-nilai kultural yang ada.

Sifat toleransi dan `mengalah` pada diri Dayak Meratus sebenarnyalah berada pada tingkatan tertinggi.

Namun bila harga diri dan nilai-nilai kultural sudah tidak lagi diindahkan, maka etnis Dayak Meratus akan memperlihatkan sikap tegas mereka yang didasari oleh sikap untuk bertahan.

Bentuk `penguasaan` oleh etnis Banjar yang kemudian diadaptasi oleh etnis pendatang lain, dilakukan dengan santun dan penuh penghormatan terhadap harga diri serta nilai-nilai kultural yang berlaku.

Sebelum memasuki ranah adat, etnis Banjar menampilkan sikap bijaksana dengan merangkul etnis Dayak melalui sebuah prosesi kebudayaan yang disebut `ba angkatan dangsanak`.

`Ba angkatan dangsanak` adalah sebuah pengakuan yang mensejajarkan antara etnis Dayak Meratus dengan Banjar. Melalui proses itu, mereka menjadi sepasang saudara sehingga tidak mungkin akan muncul konflik.

Sebuah penghormatan yang dilakukan dengan bijak sehingga bilapun muncul konflik akan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Karena bukankah sesama saudara tidak semestinya bertikai. " Karena itulah, konflik yang bilapun ada, hanya akan berupa riak-riak untuk kemudian menghilang begitu saja," katanya.

Taufik menilai, peran pemerintah dalam hal ini sangat besar dalam upaya menghindari kemungkinan munculnya konflik antar etnis.

"Peran aktif pemerintah mutlak diperlukan. Karena konflik yang terjadi akan berimbas bukan hanya pada tatanan kehidupan mereka yang berkonflik tetapi juga kepada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya.

Pemerintah dipandang perlu melakukan komunikasi secara terus menerus terhadap nilai-nilai yang menghargai keberagaman identitas etnik dan agama.

Penting dilakukan tindakan yang memberikan kesempatan dan keadilan terhadap akses sumber-sumber, seperti sumber ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, pendidikan dan kesehatan, atas masing-masing etnis.

Tak kalah pentingnya adalah menyelenggarakan kegiatan yang mengarah pada interaksi antar etnis.

"Bila terjadi konflik, pemerintah harus melakukan tindakan penyelesaian melalui pendekatan secara kultural sebelum melakukan penyelesaian secara hukum dan keamanan," tambahnya.

Melalui tindakan-tindakan itu, dipercaya akan mampu menekan kemungkinan munculnya sebuah konflik horisontal antar etnis.

Terlebih lagi pada etnis Dayak Meratus, dengan kebersahajaan mereka, konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan akan terjadi selama tidak bersinggungan dengan harga diri dan nilai-nilai kultural yang berlaku.