- Hawa dingin yang menusuk kulit berangsur menghilang diterpa kilau matahari. Pukul enam pagi Selasa pekan lalu, di atas lembah Suryakenca-na, langit cerah. Hanya tampak kabut tipis yang sesekali melintas hingga menyentuh rumput, lalu lenyap ditelan cahaya. Butir-butir embun yang tersisa di pucuk-pucuk edelweis memantulkan sinar keperakan, di padang sepi yang luasnya melebihi lima puluh lapangan sepak bola itu.
Suryakencana identik dengan edelweis. Inilah hamparan setinggi 2.750 meter dari permukaan laut yang dipagari puncak Gunung Gede dan Gumuruh-yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat. Padang rumput yang dibelah parit selebar satu meter itu menjadi habitat edelweis jawa (Anaphalis javanica), yang populer dengan sebutan bunga abadi.
Di lapangan yang disebut Alun-alun Suryakencana itu, edelweis tumbuh berkelompok. Ada yang tersuruk di tepian parit hingga yang bergerombol di kaki gunung yang memagarinya. Setelah hujan sepanjang siang hingga malam, bunga edelweis yang mekar dan bermandikan cahaya menjadi pemandangan elok yang mengobati keletihan para pendaki. Tak bosan rasanya berlama-lama memandangi tiap sudut lembah.
Suryakencana memang tempat favorit para pengunjung taman nasional. Lembah ini merupakan tempat istirahat pendaki yang terkuras tenaganya oleh tanjakan sepanjang enam kilometer dari pos pendakian awal di Gunung Putri, Cipanas. Para pendaki biasanya tiba di alun-alun timur pada sore atau malam hari, lalu menginap semalam sebelum melanjutkan pendakian dua jam ke puncak Gunung Gede.
Sebaliknya, dari pos pendakian Cibodas, Suryakencana menjadi peristirahatan terakhir bagi para pendaki, setelah menuruni puncak. Di sini mereka biasanya menghabiskan waktu dengan berfoto-foto, atau sekadar memandangi gugusan edelweis sambil menikmati embusan sejuk hingga matahari mulai tergelincir ke barat. Selain tempat beristirahat, lembah ini menjadi titik pengambilan air minum.
Melihat rerimbunan edelweis di Suryakencana seolah semua baik-baik saja. Kelopak bunga yang mekar, menghampar putih, dan aneka serangga yang mengitarinya di padang yang sunyi rasanya jauh dari ancaman. Tapi, bagi pendaki yang pernah berkunjung ke sana tiga dekade silam-ketika mendaki gunung hanya dilakukan segelintir pencinta alam-dan kembali lagi sekarang, ancaman bagi edelweis tampak nyata.
Adia Fiska, pencinta alam yang bolak-balik mendaki Gunung Gede-Pangrango pada pengujung dekade 1980, mengatakan jumlah edelweis saat ini jauh berkurang. "Memang tumbuh berkelompok, tapi dulu sangat padat. Tak hanya di tepi parit atau tebing, tapi di jalur pendakian," katanya. Selain itu, Suryakencana lebih rimbun karena masih banyak pohon cantigi-yang kayunya menjadi sasaran pendaki untuk membuat api.
Menurut Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Sumarto, rehabilitasi edelweis menjadi prioritas Balai. "Jumlah edelweis yang tersisa hanya 25-30 persen dari luas habitatnya," ujar Sumarto. Maka, selain aturan ketat soal pendakian, Balai sedang menyiapkan aturan membatasi kontak pendaki dengan edelweis. "Akan dibuat koridor khusus untuk berfoto dan menyentuh," katanya.
Penyelamatan edelweis tak melulu demi alasan estetika. Bunga ini merupakan tumbuhan pelopor bagi tanah vulkanik muda di pegunungan. Edelweis dapat tumbuh di kawasan tandus dan menyuburkan tanah di sekitarnya. Biasanya edelweis menjadi tumbuhan yang paling mudah hidup di tanah bekas kebakaran. Edelweis menjadi rumah dan tempat bermain bagi ratusan jenis serangga dan tempat burung bersarang.
Sejatinya, bentuk bunga ini sederhana. Tak terlalu indah, apalagi untuk dikatakan istimewa. Tapi letaknya di ketinggian 2.000 meter yang membuatnya sulit digapai menjadikan bunga ini penuh makna. Belum lagi aneka atribut dan mitos yang diberikan kepada bunga ini, yang disebut sebagai gambaran cinta abadi, kegagahan, dan kekuatan, atau memiliki keajaiban seperti diceritakan dalam petualangan Asterix di Swiss.
Dengan segala romantisisme yang membungkusnya, edelweis di Suryakencana sangat menggoda para pendaki-yang mengklaim diri sebagai pencinta alam-untuk memetik dan menjadikannya tanda mata. Bahkan, dengan bangga mereka menunjukkan bunga jarahan itu kepada temannya, atau untuk diberikan kepada kekasih masing-masing. "Manusia memang menjadi predator tunggal edelweis," kata Sumarto.
Di sejumlah taman nasional, edelweis malah "dipanen" warga dan dijual kepada turis. Walhasil, tumbuhan yang seharusnya hidup melebihi satu abad ini kian sulit ditemui. Penelitian Luchman Hakim, dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya, menunjukkan spesies ini sudah musnah dari Gunung Tengger, yang termasuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Agar kejadian serupa tidak berlaku di Suryakencana, Balai Besar Gede-Pangrango memiliki aturan sangat ketat ihwal pendakian. Agustus tahun lalu, Balai Besar mewajibkan semua grup pendaki didampingi petugas. "Selain memastikan pendaki turun dengan selamat, kami mengawasi dan mengingatkan mereka supaya tidak memetik bunga," kata Ibing, warga Cibodas yang menjadi pendamping pendaki.
Aturan ini justru mendapat reaksi keras dari sebagian pencinta alam. Sebab, setiap kelompok pendaki harus membayar pendamping Rp 350 ribu. Belakangan, 20 April lalu, Balai Besar merevisi aturannya, hanya pendaki yang belum berpengalaman dan warga asing yang wajib didampingi, dengan catatan tas mereka harus digeledah. "Sekarang sudah tak ada lagi yang kedapatan membawa turun edelweis," kata Sumarto.
Peraturan yang ketat untuk pendaki memang sangat diperlukan, apalagi Gede-Pangrango adalah tempat mendaki terdekat dari Jakarta dan sekitarnya, termasuk Bandung. Di akhir pekan, pendaki bisa mencapai 500 orang. Pengunjung yang membeludak bisa merusak ekosistem, dan menjadi ancaman bagi edelweis Suryakencana-kawasan yang kerap disebut sebagai benteng terakhir konservasi edelweis di Indonesia.
sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/ 2010/05/31/LIN/mbm.20100531. LIN133655.id.html
Thursday, September 23, 2010
Edelweis Terancam Tak Abadi
Tekhnik lain panjat tebing
Teknik - teknik lain yang sering digunakan dalam pendakian tebing adalah :
1 Hand Traverse adalah teknik memanjat pada tebing dengan gerak menyamping (horizontal). Hal ini dilakukan bila tempat pegangan yang ideal sangat minim dan memanjat vertikal sudah tidak memungkinkan lagi. Teknik ini sangat rawan, dan banyak memakan tenaga karena seluruh berat beban tergantung pada pegangan tangan. Sedapat mungkin pegangan tangan dibantu dengan pijakan kaki (ujung kaki) agar berat badan dapat terbagi lebih rata.
2 Mantelself adalah teknik memanjat tonjolan - tonjolan (teras - teras kecil) yang letaknya agak tinggi namun cukup besar dan dapat diandalkan untuk tempat berdiri selanjutnya. Kedua kaki dipergunakan untuk menarik berat badan, dibantu dengan pergerkan kaki. Bila tonjolan - tonjolan tersebut setinggi paha atau dada, maka posisi tangan berubah dari menarik menjadi menekan, untuk mengangkat berat badan, yang dibantu dengan dorongan kaki.
1 Hand Traverse adalah teknik memanjat pada tebing dengan gerak menyamping (horizontal). Hal ini dilakukan bila tempat pegangan yang ideal sangat minim dan memanjat vertikal sudah tidak memungkinkan lagi. Teknik ini sangat rawan, dan banyak memakan tenaga karena seluruh berat beban tergantung pada pegangan tangan. Sedapat mungkin pegangan tangan dibantu dengan pijakan kaki (ujung kaki) agar berat badan dapat terbagi lebih rata.
2 Mantelself adalah teknik memanjat tonjolan - tonjolan (teras - teras kecil) yang letaknya agak tinggi namun cukup besar dan dapat diandalkan untuk tempat berdiri selanjutnya. Kedua kaki dipergunakan untuk menarik berat badan, dibantu dengan pergerkan kaki. Bila tonjolan - tonjolan tersebut setinggi paha atau dada, maka posisi tangan berubah dari menarik menjadi menekan, untuk mengangkat berat badan, yang dibantu dengan dorongan kaki.
Pengelolaan Persampahan: Menuju Indonesia Bebas Sampah (Zero Waste )
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat.
Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). [Bapedalda, 2000]. Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung. Kota metropolitan lebih banyak menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil.
Jenis Sampah
Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 yaitu sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sapah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengleolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sapah bersifat terpusat. Misanya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuag di Tempat Pembuangan Akhir di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/dikurangi.
Alternatif Pengelolaan Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.
Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.
Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
Tangguang Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah
Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility - EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau dipraktekkan, mungkin baru sesuai untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun dan material serta produk yang bermasalah.
Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang ulang, dan pemilahan di sumber, komposting, dan daur-ulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.
Sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3)
Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.
Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator.
Banyak jenis sampah yang secara kimia berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa, seperti merkuri, harus dihilangkan dengan cara merubah pembelian bahan-bahan; bahan lainnya dapat didaur-ulang; selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika.
Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia.
Produksi Bersih dan Prinsip 4R
Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah:
Prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R yaitu:
- Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
- Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
- Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
- Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dnegan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidka bisa didegradasi secara alami.
Subscribe to:
Posts (Atom)