Thursday, June 23, 2011
Bahaya Minuman Bersoda
Minuman bersoda menjadi favorit jutaan orang. Rasanya manis dan menyegarkan. Dan terasa lebih nikmat jika diminum saat cuaca panas atau usai makan siang.
Tapi apa yang terjadi jika Anda minum soda terlalu sering atau malah setiap hari? Seperti dikutip dari Shine Senin (20/6), inilah empat dampak minum minuman bersoda terlalu sering:
1. Tambah gendut
Di Amerika Serikat, sederet penelitian membuktikan secara ilmiah bahwa minuman bersoda menjadi penyebab obesitas atau kelebihan berat badan. Banyak anak kecil, remaja bahkan dewasa memiliki tubuh yang gendut akibat terlalu sering minum soda.
2. Diabetes tinggal menghitung waktu
Orang yang minum soda setiap hari memiliki risiko mengidap diabetes hingga dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan mereka yang jarang atau tak pernah minum minuman bersoda.
3. Berisiko mengalami serangan jantung
Selain diabetes, seseorang yang minum minuman bersoda setiap hari, dalam empat tahun memiliki risiko terkena serangan jantung 40 persen lebih tinggi ketimbang yang tidak. Bukan cuma itu, kadar kolesterol jahat pun ikut naik akibat konsumsi soda berlebihan.
4. Menderita berbagai gangguan kesehatan
Minuman bersoda tak hanya mengandung kadar gula yang tinggi, tapi juga kafein. Beberapa ahli mengatakan, jika minuman bersoda sudah jadi bagian dari “gaya hidup”, maka efeknya akan tak jauh beda dengan obat-obatan terlarang. Alhasil jangan heran jika akan ada organ-organ vital tubuh yang mengalami gangguan fungsi.
Jadi mulai sekarang, perbanyaklah konsumsi air putih minimal dua liter sehari. Gantilah minuman bersoda dengan teh hijau atau jamu tradisional yang alami.
Saturday, June 18, 2011
4 Hal dalam memilih kamera saku
Empat Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Membeli Kamera Saku
Jika satu dasawarsa lalu kamera digital adalah sebuah perangkat yang harganya mahal, kini hampir setiap orang mampu membelinya. Merek dan model kamera digital pun semakin banyak di berbagai segmen. Rentang harga jual kamera saku cukup luas, mulai di bawah Rp 1 juta sampai di atas Rp 5 juta.
Minat membeli kamera digital tidak surut oleh banyaknya telepon seluler yang dilengkapi fitur kamera. Tentunya sebelum membeli, Anda perlu melihat kebutuhan dan dana yang dimiliki. Berikut ini empat hal yang patut diperhatikan sebelum membeli kamera saku:
MEREK
Merek suatu kamera amat penting. Merek ternama biasanya memiliki bagian R&D (riset dan pengembangan) yang bertujuan menelurkan kamera dengan fitur dan kualitas yang baik. Selain itu, ada beberapa teknologi dan fitur yang eksklusif terbatas hanya dapat digunakan satu merk.
Misalnya: Sony memiliki teknologi SteadyShot dan BIONZ processor, Panasonic dengan MEGA O.I.S dan VENUS ENGINE, Canon dengan DIGIC processor, dan sebagainya. Selain itu, rata-rata perusahaan kamera ternama juga memproduksi lensanya sendiri.
Sebagai panduan, pilihlah kamera saku dari produsen yang mampu membuat lensa sendiri.
SPESIFIKASI
Pastikan spesifikasi kamera yang ingin dibeli sesuai dengan kebutuhan Anda.
Panduan umum: jangan pedulikan ukuran resolusi sebab besaran itu (dalam hitungan MP) bukanlah ukuran kualitas hasil foto, tapi lebih merujuk pada ukuran cetak optimal dari sebuah kamera. Misalnya: resolusi 5MP dapat digunakan untuk mencetak foto berukuran A4, sementara 10MP untuk A3.
Nah, jika Anda tidak berencana mencetak foto berukuran besar, tentunya tidak perlu mementingkan besaran resolusi. Yang lebih menentukan sebuah hasil foto adalah kualitas sensor, kualitas lensa, dan pengolah citra (image processor).
DESAIN
Kamera saku hadir dalam berbagai ukuran dan konsep desain. Faktor desain yang harus lebih diperhatikan adalah ergonomi. Setelah menggunakannya dalam waktu yang lama, Anda akan lebih menghargai faktor kenyamanan pemakaian dibanding desain yang cantik tapi kurang nyaman. Jika memungkinkan, cobalah dulu memegang kamera dalam berbagai posisi. Bagi yang agak ceroboh, dianjurkan memilih kamera saku dengan lensa yang dapat tertutup otomatis atau kamera yang tidak memakai tutup lensa terpisah.
AKSESORI
Jika membeli kamera, pastikan Anda menyisihkan dana untuk membeli aksesori tambahan. Yang paling mendesak adalah memory card, karena sering kali tidak disertakan dalam paket pembelian. Aksesori lain yang wajib dimiliki adalah tas atau kantong kamera dan alat pembersih lensa. Tripod juga wajib dimiliki jika Anda akan menggunakan kamera untuk memotret pemandangan.
Selamat berbelanja!
Kristian Tjahjono, menulis tentang teknologi konsumen sejak tahun 2003, pendiri situs teknologi konsumen yangcanggih.com. Antusias terhadap berbagai jenis gadget, mulai dari komputer, ponsel, sampai kamera digital.
Lebih dari 50% Peresepan Obat Kurang Tepat
Lebih dari 50% peresepan obat, khususnya antibiotik di rumah sakit, puskesmas, dan dokter praktik swasta kurang tepat. Bila tidak ditanggulangi, pola pemberian antibiotik secara serampangan itu bisa menimbulkan wabah bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
"Efek negatif bagi pasien, antara lain, masa infeksi penyakit jadi semakin lama, kondisi klinisnya memburuk, ongkos pengobatan mahal, dan efek samping semakin besar lantaran dosis obat yang diberikan semakin tinggi," ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih dalam jumpa pers seminar Antimicrobial Resistance-Containment and Prevention, kemarin di Jakarta.
Gambaran tingginya kasus pasien kebal obat, lanjut Endang, terlihat pada pasien tuberkulosis (Tb). Menurutnya, saat ini ada 6.395 pasien yang tidak mempan lagi diobati dengan obat Tb lini pertama (multidrug-resistant tuberculosis/MDR-Tb). Indonesia berada di posisi 8 sebagai negara dengan beban MDR tertinggi di dunia.
Dalam seminar yang diselenggarakan terkait peringatan Hari Kesehatan Sedunia itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK-UGM) Iwan Dwiprahasto memaparkan data hasil penelitian FK-UGM bekerja sama dengan Bank Dunia pada 2004 di Sumatra Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan NTT.
Hasil penelitian menunjukkan, 92%-94% peresepan antibiotik pada pasien yang berobat di puskesmas, rumah sakit, hingga dokter praktik swasta tidak rasional atau tidak tepat dosis ataupun peruntukannya.
"Pemberian antibiotik tidak rasional terlihat pada pasien diare di kelima provinsi itu, yakni mencapai 87%. Padahal, diare tidak selalu membutuhkan antibiotik," ujar Iwan.
Selain peresepan obat oleh dokter tidak rasional, tambahnya, pasiennya juga tidak patuh minum obat. Akibatnya, risiko terjadinya wabah penyakit yang kebal terhadap obat tentu semakin tinggi.
"Pasien Indonesia rata-rata minum antibiotik hanya 1,2 sampai 2,7 hari. Rentang waktu konsumsi antibiotik itu dinilai terlalu pendek sehingga tidak seluruh bakteri di dalam tubuh mati."
Harus bertindak
Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto menyalahkan kebijakan pemerintah yang masih memperbolehkan apotek dan toko obat melayani pembelian obat antibiotik tanpa disertai resep dokter.
"Antibiotik dapat dibeli tanpa resep dokter hanya ada di Indonesia. Di luar negeri tidak ada itu," keluhnya.
Sementara itu, teknik pemberian obat yang tidak benar, diduga Iwan juga memberi andil terjadinya resistensi antimikroba. Contohnya, pada obat puyer, antibiotik kerap dicampur dengan obat analgesik, dan penurun panas.
"Obat antibiotik tidak boleh dicampur, itu dosa besar," tuturnya.
Sementara itu, perwakilan WHO di Indonesia Khancit Limpakarnjanarat mendesak Indonesia segara mengambil tindakan terkait masalah itu. "Jangan sampai dunia tidak lagi memiliki obat untuk penyakit infeksi," tegasnya.
Sebagaimana diketahui sejak 2007, industri farmasi tidak lagi mengembangkan obat antibiotik baru. Mereka lebih fokus mengembangkan obat penyakit degeneratif yang dinilai lebih menguntungkan. (X/8)
"Efek negatif bagi pasien, antara lain, masa infeksi penyakit jadi semakin lama, kondisi klinisnya memburuk, ongkos pengobatan mahal, dan efek samping semakin besar lantaran dosis obat yang diberikan semakin tinggi," ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih dalam jumpa pers seminar Antimicrobial Resistance-Containment and Prevention, kemarin di Jakarta.
Gambaran tingginya kasus pasien kebal obat, lanjut Endang, terlihat pada pasien tuberkulosis (Tb). Menurutnya, saat ini ada 6.395 pasien yang tidak mempan lagi diobati dengan obat Tb lini pertama (multidrug-resistant tuberculosis/MDR-Tb). Indonesia berada di posisi 8 sebagai negara dengan beban MDR tertinggi di dunia.
Dalam seminar yang diselenggarakan terkait peringatan Hari Kesehatan Sedunia itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK-UGM) Iwan Dwiprahasto memaparkan data hasil penelitian FK-UGM bekerja sama dengan Bank Dunia pada 2004 di Sumatra Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan NTT.
Hasil penelitian menunjukkan, 92%-94% peresepan antibiotik pada pasien yang berobat di puskesmas, rumah sakit, hingga dokter praktik swasta tidak rasional atau tidak tepat dosis ataupun peruntukannya.
"Pemberian antibiotik tidak rasional terlihat pada pasien diare di kelima provinsi itu, yakni mencapai 87%. Padahal, diare tidak selalu membutuhkan antibiotik," ujar Iwan.
Selain peresepan obat oleh dokter tidak rasional, tambahnya, pasiennya juga tidak patuh minum obat. Akibatnya, risiko terjadinya wabah penyakit yang kebal terhadap obat tentu semakin tinggi.
"Pasien Indonesia rata-rata minum antibiotik hanya 1,2 sampai 2,7 hari. Rentang waktu konsumsi antibiotik itu dinilai terlalu pendek sehingga tidak seluruh bakteri di dalam tubuh mati."
Harus bertindak
Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto menyalahkan kebijakan pemerintah yang masih memperbolehkan apotek dan toko obat melayani pembelian obat antibiotik tanpa disertai resep dokter.
"Antibiotik dapat dibeli tanpa resep dokter hanya ada di Indonesia. Di luar negeri tidak ada itu," keluhnya.
Sementara itu, teknik pemberian obat yang tidak benar, diduga Iwan juga memberi andil terjadinya resistensi antimikroba. Contohnya, pada obat puyer, antibiotik kerap dicampur dengan obat analgesik, dan penurun panas.
"Obat antibiotik tidak boleh dicampur, itu dosa besar," tuturnya.
Sementara itu, perwakilan WHO di Indonesia Khancit Limpakarnjanarat mendesak Indonesia segara mengambil tindakan terkait masalah itu. "Jangan sampai dunia tidak lagi memiliki obat untuk penyakit infeksi," tegasnya.
Sebagaimana diketahui sejak 2007, industri farmasi tidak lagi mengembangkan obat antibiotik baru. Mereka lebih fokus mengembangkan obat penyakit degeneratif yang dinilai lebih menguntungkan. (X/8)
source : micom
Subscribe to:
Posts (Atom)