Gunung Bawakaraeng adalah gunung yang terletak di kampung
Lembanna. Masuk dalam kawasan wisata puncak Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi
Selatan. Dapat ditempuh sekira tiga jam perjalanan dari Makassar dengan
berkendaraan darat ke arah selatan.
Bawakaraeng, secara bahasa, berarti mulut tuhan. Diambil dari
bahasa Makassar: bawa artinya mulut; karaeng artinya tuhan. Siapa yang
memberikan nama dan apa latar belakangnya, Saya tidak mendapatkan data tentang
itu. Yang jelas, gunung Bawakaraeng bukanlah mulut tuhan dalam arti yang
sebenarnya.
Pos 3 bawakaraeng
Pemandangan Pos 5 yang sering terjadi badai
Pemandangan dari Pos 7, puncak bukit I Bawakaraeng
Bawakaraeng terdiri dari bukit-bukit yang berjejer megah.
Bukit tertinggi memiliki tinggi sekira 2.700 meter di atas permukaan laut.
Untuk mendakinya sampai ke puncak, kita harus menyusuri dua bukit dan 10 pos
jalur pendakian. Pepohonan lebat beragam jenis, kabut tipis, sungai kecil, dan
pelbagai keindahan alam lainnya akan menghiasi setiap jalur pendakian dari pos
ke pos hingga ke puncak.
Pemandangan dari pos 10, puncak tertinggi Bawakaraeng
Trianggulasi (tanda ketinggian) di puncak Bawakaraeng
Mereka yang Mati
Pada 1980-an, seorang pendaki wanita bernama Noni bunuh diri
di pos 3 Bawakaraeng. Dia menggantung dirinya di sebuah pohon. Dugaan
penyebabnya karena patah hati.
Pohon itu masih berdiri hingga kini. Bentuknya anker, seanker
kejadian di baliknya. Batangnya besar bercabang, daunnya habis tak tersisa.
Bagi yang sudah mendaki Bawakaraeng, pasti kenal betul dengan pohon itu karena
pohon itulah yang menjadi penanda pos 3.
Karena alasan mistis, para pendaki enggan mengabadikan pohon itu
dalam bentuk foto maupun video. Bahkan mereka juga enggan singgah di pohon itu.
Beberapa kesaksian menjelaskan bahwa kejadian aneh terjadi waktu mereka singgah
di pohon itu: tiba-tiba hujan, angin kencang, dan lainnya, entahlah! tapi saya
sempet mengabadikan lokasi pos 3
Beberapa pendaki juga mati di Bawakaraeng. Badai, suhu dingin,
kelaparan, adalah sebagian dari penyebabnya. Pusara yang terpasang menjadi
penanda sejarah mereka. Paling terakhir, matinya dua mahasiswa Geologi
Universitas hasanuddin, Awy dan Iccank, di Pos 5 karena badai.
Pos 8 bawakaraeng
Longsor yang Menimbun
Pada 2004 silam, longsor terjadi di salah satu bukit
Bawakaraeng. Bukit itu terlihat jika kita berjalan menurun dari pos 7 menuju
pos 8, seperti gunungan ice cream yang sudah digigit. Akibat longsor, pos 8
lama yang berbentuk padang luas dengan ilalangnya harus berganti dengan pos 8
baru yang gersang, dekat telaga Bidadari yang kering kerontang, hanya
menyisakan air yang cokelat dan kotor.
Longsor itu juga menimbun kampung-kampung kecil di lereng
Bawakaraeng, tanpa sisa. Lumpur bawahannya malah sempat membuat khawatir
sebagian orang karena dianggap tekanannya akan merobohkan bendungan bili-bili,
tapi syukurlah, hal tersebut tidak menjadi kenyataan.
Ritual Di Bawakaraeng
Setiap hari raya Idul Adha, banyak warga dari berbagai daerah
menuju ke puncak Bawakaraeng untuk melakukan salat Idul Adha dan ritual. Mereka
datang sehari sebelum hari raya dan bermalam di puncak dengan bekal dan pakaian
seadanya.
Esok subuh, mereka pun memulai salat Idul Adha dan ritual.
Mereka memberikan sesajian-sesajian untuk mencari berkah dan keselamatan: gula
merah untuk mencari manisnya dunia, kelapa untuk mencari nikmatnya dunia, lilin
untuk mencari terangnya dunia, dan sebagainya.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa warga ke puncak
Bawakaraeng untuk melaksanakan ibadah haji, tapi pendapat tersebut dibantah
oleh Tata Rasyid, penjaga dan penolong Bawakaraeng. Tata Rasyid menegaskan,
“Yang benar itu warga naik ke puncak untuk lebaran haji, bukan naik haji. Naik
haji itu di Mekkah.”