Tak  banyak yang menyangka kalau Gunung Talamau (2982 mdpl) di Propinsi  Sumbar menyimpan segudang pesona yang sayang tuk di lewatkan. Bagi  mereka yang gemar wisata petualangan; mendaki gunung, mencoba  keeksotisan gunung ini pasti memberi kesan tersendiri. Kawasan hutan  yang masih perawan ditingkahi  kicauan burung berpadu indah  dengan puluhan telaga yang terserak di kawasan puncak, membuat  perjalanan panjang ini terasa tak sia-sia. 
 
Saat  tawaran menjajal keelokan gunung ini datang, rasa was was mucul dalam  hati. Pasalnya, gunung tertinggi di Sumatera Barat ini terkenal angker  dan tidak banyak orang yang pernah menggapai puncaknya. Apalagi,  keberadaan harimau Campo, yang disebut-sebut menjadi penguasa tempat  ini, konon kerap terlihat, saat pendaki tiba di puncak.
 
Gunung  yang terletak di di Desa Pinagar Kabupaten Pasaman Barat ini, merupakan  satu dari beberapa gunung yang mempunyai panorama alam menarik di  daerah Minang Kabau. Dengan ketinggian 2982 mdpl menjadikannya sebagai  laboratorium alam terlengkap sebagai kawasan hutan hujan tropis yang  kaya dengan aneka sumberdaya alam. 
Untuk  mencapai gunung ini bisa dilakukan dari beberapa arah, baik dari arah  Rau (baca: Perbatasan Sumut-Sumbar) maupun dari Padang-Sumbar.  Kebanyakan para pendaki memulainya dari Terminal Bingkuang-Padang.  Dengan menaiki bus jurusan Padang - Pasaman (seperti; PO. Mandala, PO Persada), kita bisa tiba di kaki gunung dengan merogoh kocek sebesar Rp. 11.000/ orang (baca; tahun 2000). 
 
Berhubung  pintu rimba (baca: jalan masuk) yang dikenal para pendaki hanya dari  Desa Pinagar (320 mdpl). Kami pun memulainya dari tempat itu. Desa  berpenduduk 300 kk tersebut berada di pinggir jalan berjarak ±179 km  dari Padang.  Selain dari sini, ternyata ada rute lain yang pantas dicoba, tepatnya  dari Desa Durian Kandang Aia Maruek. Rutenya akan membawa kita menuju  Gunung Pasaman terlebih dahulu, lalu turun menyadel ke Gunung Talamau.  Sebagai informasi, Gunung Talamau terletak bersebelahan dengan Gunung  Pasaman. Hanya saja, jalur ke Gunung Pasaman tak begitu jelas. Jika  ingin kesana, dibutuhkan pemahaman navigasi darat yang memadai agar  tidak tersesat.
 
Setibanya  di Desa Pinagar, biasanya para pendaki akan ditawarin peta tematik  sebagai penunjuk arah oleh penduduk. Walau kelihatannya aneh, -karena  bukan peta topografi-, ternyata benda ini cukup membantu menggapai  puncak, pasalnya tanda penunjuk arah mirip dengan kondisi sebenarnya.
 
Setelah  semua dirasa beres, perjalanan segera dimulai. Inilah awal petualangan  yang sesungguhnya. Dalam setiap pendakian, kondisi awal pasti menyiksa.  Bagaimana tidak, rute yang lebar dan mulai menanjak, memaksa kami harus  berjalan kaki selama 4 jam dengan beban ±25 kg. Membuat butir-butir  keringat mengalir begitu cepat.
 
Tujuan  berikutnya adalah Pondok Bang Danil. Danil adalah pendaki pertama yang  berhasil menggapai puncak Talamau di tahun 1985. Berhubung dia penduduk  lokal, pemerintah setempat mempercayakan pengelolaan kawasan ini  kepadanya. Itu sebabnya, setiap pendaki harus mendaftar disini, jika  ingin mencapai puncak. 
 
Di  pondok ini, kita harus membayar retribusi plus asuransi pendakian  sebesar Rp. 5000/ orang (baca: bisa jadi sekarang terjadi perubahan),  dan sebagai kenang-kenangan kita akan diberi cendramata oleh bang Danil.  
 
Untuk  mendaki gunung ini ternyata tak mudah, ada banyak syarat dan pantangan  yang harus diperhatikan. Untuk syarat yang harus dipenuhi, antara lain;  KTP/ SIM, surat ijin dari orang tua dan surat  ijin dari organisasi, –jika dia punya organisasi pencinta alam–. Semua  surat-surat tadi di perlihatkan saat mendaftar. Selain itu, perlengkapan  dan logistik yang dibawa akan di data jumlahnya. Ini perlu, untuk  mengetahui jumlah sampah yang akan dibawa turun. Di tempat ini, sama  seperti Gunung Gede-Pangrango di Jawa Barat, setiap sampah wajib dibawa  turun. Aturan tersebut perlu untuk menjaga gunung ini tetap lestari.
 
Sedangkan  larangan yang berlaku di gunung ini cukup banyak, antara lain: tidak  dibenarkan merusak flora dan fauna, tidak dibenarkan membawa alat-alat  musik, tidak dibenarkan membawa sabun/bahan-bahan yang bisa mencemari  sumber air, tidak dibenarkan membawa minuman keras, tidak diijinkan  berpencar-pencar, tidak diijinkan pendaki putra dan putri tidur dalam  satu tenda, tidak boleh berteriak-teriak/bernyanyi keras, tidak boleh  menyalakan api di daerah yang rawan kebakaran, tidak boleh memasuki  kawasan telaga seperti mandi, mencuci, kecuali mengambil air untuk minum  dan memasak, dilarang keras melakukan tindakan vandalisme, dilarang  keras membuang kotoran disembarang tempat. Setiap pendaki harus  menghormati adat istiadat setempat. Pendaki harus mematuhi lama ijin  pendakiannya serta melaporkan kejadian/ kerusakan lainnya pada petugas  lapangan atau posko. 
 
Sebuah Proses.
 
Di Indonesia, gunung-gunung terletak dalam satu rangkaian yang mengikuti garis lengkung dari Pulau We (Aceh) sampai ke Indonesia  bagian timur. Gunung berapi ini tidak hanya menyebar di daratan, namun  sampai ke dasar laut. Selanjutnya gunung-gunung tersebut tersebar di  sepanjang nusantara.
 
Sebagai  cikal bakalnya, semua bermula dari kerak bumi, yang di dalamnya  terdapat sepuluh lempengan utama, yaitu: Lempeng Afrika, Lempeng  Antartika, Lempeng Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Amerika Utara,  Lempeng Amerika Selatan, Lempeng Pasifik, Lempeng Cocos, Lempeng Nazca,  lempeng India.
Lempeng-lempeng  tersebut selalu bergerak. pergerakan antar lempeng-lempeng, merupakan  tempat-tempat yang memiliki kondisi tektonik yang aktif dengan daya yang  begitu besar, menyebabkan misalnya; gempa bumi, gunung berapi dan  pembentukan dataran tinggi, seperti diungkapkan Bas Hansen dari University of New South Wales. Proses ini secara perlahan mengeluarkan batuan yang telah lama terkubur dan memusnahkan yang lainnya selama berjuta-juta tahun 
 Ketika  dua lempengan saling bertubrukan, salah satunya biasanya akan menerobos  di bawah lempengan yang kedua. Lempengan kedua yang berada bagian atas  terdorong ke atas sehingga membentuk punggung gunung. Pada saat  bersamaan, lempengan yang berada di bawah terus menembus, menghujam ke  bawah, dan membentuk perpanjangan yang jauh ke dalam bumi. Ini berarti  gunung memiliki semacam akar berupa perpanjangan yang menancap dan  menghujam ke dalam bumi. Bagian ini sama besarnya dengan punggung gunung  yang tampak menjulang tinggi di atas permukaan bumi. Dengan kata lain,  gunung tertancap dan mengakar kokoh pada bagian kerak bumi yang disebut  mantle (jaket). 
Dengan  cara ini, gunung mencegah kerak bumi bergerak atau bergeser secara  terus-menerus di atas lapisan magma atau di antara lapisan-lapisannya.  Singkatnya, kita dapat menyamakan gunung sebagaimana paku atau pasak  yang menancap dan mencengkeram lembaran-lembaran papan kayu dengan erat  dan kokoh. Kerak bumi yang bersifat mudah bergerak ini diredam oleh  gunung, sehingga mampu mencegah guncangan hingga batas tertentu
 
Dari  sisi geologi, kawasan Gunung Talamau didominasi oleh pegunungan Bukit  Barisan yang bersifat vulkan kuarter. Bahan-bahan vulkanik ini kaya  dengan plagioklas dan umumnya bersifat masam (dasitikliparitik), sedangkan pada pantai barat terdapat formasi andesit tersier yang bersifat masam - sangat masam. 
 
Berdasarkan  hasil penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan  Indonesia (Research Center for Geotechnology The Indonesian Institute  of Sciences), pembentukan Gunung Talamau berasal dari berbagai jenis  batuan, yaitu batuan vulkanik produk Galau Talamau, yang dari Major  Elemen menunjukkan batuan beku di kawasan itu dapat dibedakan menjadi  empat macam yaitu basa (basalt), menengah (andesit), agak asam (dasit),  dan granit (asam). 
 
Rute Perjalanan
 
Bagi  pendaki yang baru tiba di posko pemeriksaan (Posko Pondok Bukik Harimau  Campo; red), di ketinggian 710 mdpl, istirahat sejenak terasa begitu  berarti. Apalagi tidak jauh dari lokasi ini bisa ditemukan sebuah air  terjun yang cukup besar bernama air terjun Puti Lenggo Geni dengan  tinggi 109 m. Lumayan, bisa melepas lelah sambil menikmati deburan air  terjun.
 
Berhubung  hari mulai senja, perjalanan di hentikan sementara. Tim memutuskan  menginap disana. Berkumpul sambil bersenda gurau, menenggak coklat susu  sambil melingkari api unggun yang mulai menyala, membuat suasana begitu  akrab.   
 
Keesokan  paginya, selepas sarapan dan berbenah, petualangan dilanjutkan kembali.  Tujuan selanjutnya adalah Pondok Rindu Alam, terletak di ketinggian  1100 mdpl. Jalur pendakian yang mulai menyempit dengan sekerumunan pacat  pun mulai menampakkan diri. Walau ukuran mahluk penghisap darah ini  kecil, tetapi tetap saja merepotkan. Selain bentuk yang menjijikkan,  jumlahnya yang banyak, membuat pendaki enggan berlama-lama.
 
Dalam  waktu 3 jam perjalanan, pos tersebut berhasil dicapai. Dari pos yang  tidak berbentuk pondok ini, kita dapat mendengar suara aneka jenis  burung. Kicauannya yang bersahut-sahutan terdengar begitu indah. Dari  pengamatan sekilas, terlihat beberapa jenis burung, seperti: rangkong (Buceros rhinoceros), sempidan sumatera (Lophura inornata), burung alap-alap (Black-thighed Falconet), ayam hutam merah (Red Junglefowl). Selain itu, di sebelah pondok kita dapat menemukan sungai kecil. Disinilah para pendaki mengisi kembali pundi-pundi airnya.
                                  
Saat  istirahat dirasa cukup, perjalanan kembali di lanjutkan. Rute yang  mulai menanjak dengan rapatnya polulasi tanaman hutan dari famili  Dipterocarpaceae, seperti; tumbuhan kemaduh (Laportea stimulans), markisa (Passiflora sp.), sirsak (Annonaceae), senggani (Melastoma sp.)  membuat jalur mulai samar dan sering terputus putus. Untuk itu  kewaspadaan diperlukan agar tidak tersesat. Tak terasa setelah 3 jam  berjalan dengan tempo lambat, akhirnya kita tiba di Pos Bumi Sarasah  (1860 mdpl). Pos ini dinamakan demikian, karena banyaknya serasah hutan  berpadu dengan tanaman perdu.
              
Berhubung  suasana mulai gelap, tim memutuskan untuk nge-camp di tempat ini.  Selain jarak pandang yang mulai terbatas akibat turunnya hujan dan kabut  tebal, kondisi badan pun sudah melemah. Istirahat menjadi pilihan yang  logis. Apalagi, sumber air yang tak terlalu jauh dari pos, membuat  perasaan begitu nyaman. Tak perlu takut kehabisan air.   
 
Keesokan paginya, saat badan kembali bugar, perjalanan menuju puncak digelar kembali. Dengan semangat empat lima,  tim memulai pendakian. Kalau kemarin, populasi tumbuhan hutan (baca:  sangat rapat dan tinggi) begitu mendominasi, berbeda dengan kawasan ini.  Disini tumbuhan hutan diwakili famili lauraceae dan podocarpaceae,  yang tumbuh merana dan diselubungi lumut. Di ketinggian ini, kondisi  yang benar-benar lembab membuat pakaian yang melekat langsung basah saat  melaluinya. 
 
 Dalam  kawasan yang plasmanuftahnya melimpah, keberadaan hewan penunggu  kawasan ini, kerap terlihat saat pagi dan sore hari. Pasalnya,  disaat-saat tersebut, mereka turun mencari minum di sumber air. Adapun  binatang yang sering terlihat, antara lain: babi jenggot (Sus barbatus), musang leher kuning (Martes flavigula), owa (Hylobates muelleri), lutung dahi putih (Presbytis frontata), bajing tiga warna (Callosciurus prevostii), dan tupai gunung (Tupaia montana), beruang madu (Helarctos malayanus), musang belang (Hemigalus derbyanus), kucing batu ( Felis marmorata), rusa (Cervus unicolor) dan macan dahan (Neofelis nebulosa) yang sering disebut sebagai harimau Campo oleh masyarakat setempat.
 
 Dengan  perlahan, satu persatu anggota tim berhasil menapak di Pos Peninjauan,  berjarak 2,5 jam perjalanan. Rute ke tempat ini lebih curam dibanding  sebelumnya. Seringkali kita harus menggunakan tangan untuk membantu  naik. Pasalnya, selain jalannya kecil, medan  yang begitu licin, sering menyulitkan, jika tak hati-hati. Seperti  sebelumnya, setiap pos punya pemaknaan tersendiri. Tempat ini bernama  “peninjauan”, artinya kita bisa melepas pandang ke sekeliling.  Dari sini, aroma puncak mulai kental terasa. Tumbuhan perdu dengan hawa dinginnya, membuat kami tak ingin berlama-lama.
 
Lepas  dari istirahat tadi, perjalanan tahap akhir segera di mulai. Tujuan  kali ini adalah Padang Siranjano (2880 mdpl), yang banyak kalangan  menyebutnya “Basecamp Rajawali Putih”. Dengan berjalan kaki sekitar 75  menit, kita bisa sampai disana. Lokasinya sangat terbuka dengan luas ±  40 ha. Hanya decak takjub yang bisa kami ucapkan. Akhirnya, semua penat  dan beban dilampiaskan dengan masak dan mendirikan tenda, tak jauh dari  telaga yang memang banyak di kawasan ini. Dari sini juga puncak sejati  Gunung Talamau tampak berdiri kokoh.
 
Berdasarkan informasi dari Bang Danil (baca: pengelola), kabarnya ada 13 telaga tersebar di tempat ini, yaitu: Talago  Puti Sangka Bulan,Talago Tapian Sutan Bagindo, Talago Tapian Puti  Mambang Surau, Talago Siuntuang Sudah, Talago Puti Bungsu, Talago Rajo  Dewa, Talago Satwa Talago Lumuik, Talago Biru, Talago Mandeh Rubiah,  Talago Imbang Langik, Talago Cindua Mato, dan Talago Buluah Parindu. 
 
Berhubung  masih siang, tim berencana menuju puncak hari itu juga. Diperkirakan  jaraknya tak terlalu jauh. Benar saja, selepas makan siang, tim mulai  menapak jalur yang sedikit berputar mengelilingi telaga menuju arah  puncak. Tak banyak kendala yang timbul, sehubungan jalur yang cukup  jelas. Hanya butuh waktu 1 jam, puncak tertinggi di Sumbar ini berhasi  dicapai. Ternyata puncaknya terdiri dari batu-batuan yang dihiasi  rerumputan. Sungguh, tak ada yang bisa menggantikan kebahagiaan kami  saat itu. Kembali tak henti-hentinya, hanya ucapan syukur yang bisa kami  panjatkan. Semua beban itu seakan sirna berganti haru yang meluap-luap.
 
 Kabarnya,  di puncak ini (baca: Tri Martha, 2982 mdpl) terdapat titik triangulasi  (baca: titik ketinggian), yang seiring waktu patok beton tersebut hancur  digerus jaman. Hanya sisa-sisanya yang bisa dinikmati. Jika diamati,  ternyata kawasan ini memiliki 2 puncak lain dengan letaknya agak  berjauhan, yaitu: Puncak Rajawali dan Puncak Puncak Rajo Dewa. Selain  itu, telaga yang kabarnya ada 13, hanya beberapa yang bisa kita nikmati,  itupun telah banyak yang tak berair lagi.
               
Saat sayup-sayup kulepas pandang agak keujung sana.  Ternyata gunung-gunung yang letaknya jauh mulai terlihat, seperti;  Gunung Talang, Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan gunung Tandikat,  serta tak ketinggalan Gunung Pasaman (Puncak Rajo Imbang Langik) yang  letaknya bersebelahan.    
              
Ah..,  puas rasanya bisa menjelajah ke tempat-tempat tinggi seperti ini.  Selain bisa mengenal alam dan masyarakat, kita pun mampu menakar diri.  Rasanya, benar yang diucapkan Soe Hok Gie, perihal  kegilaannya mendaki gunung: “…hanya pemuda yang sehat jiwa dan raganya  bisa menilai arti nasionalisme. Nasionalisme tidak timbul dari  slogan-slogan dan hipokrisi. Nasionalisme timbul ketika kita dekat  dengan alam dan masyarakatnya. Itulah sebabnya, mengapa kami mendaki  gunung”
 
(catt: tulisan ini karya lawas yang terendap lama di blogger)